LATAR BELAKANG
Konflik dalam keseharian kita kini tak terhindarkan, ditambah lagi
pelaku konflik yang tidak hanya menyangkut orang per orangan melainkan
menjadi kelompok per kelompok maupun negara ke negara lainnya. Manajemen
konflik menjadi sangat penting untuk dipahami oleh anda, dikarenakan
penengah diperlukan dalam suatu konflik untuk menyelesaikannya.
Dalam interaksi dan interelasi sosial antar individu atau antar
kelompok, konflik sebenarnya merupakan hal alamiah. Dahulu konflik
dianggap sebagai gejala atau fenomena yang tidak wajar dan berakibat
negatif, tetapi sekarang konflik dianggap sebagai gejala yang wajar yang
dapat berakibat negatif maupun positif tergantung bagaimana cara
mengelolanya.
Dari pandangan baru dapat kita lihat bahwa pimpinan atau manajer
tidak hanya wajib menekan dan memecahkan konflik yang terjadi, tetapi
juga wajib untuk mengelola/memanaj konflik sehingga aspek-aspek yang
membahayakan dapat dihindari dan ditekan seminimal mungkin, dan
aspek-aspek yang menguntungkan dikembangkan semaksimal mungkin.
Antara interaksi dan interelasi antar individu kita biasanya
menjumpai yang namanya konflik. Dahulu sebuah konflik ada sebuah masalah
atau hambatan dalam pengerjaan sesuatu. Namun pada abad ini sebuah
konflik malah di jadikan suatu yang dapat berujung negative ataupun
positif, itu semua tergantung dari bagaimana kita mengelola konflik
tersebut.
Konflik dapat berakibat negatif maupun positif tergantung pada cara mengelola konflik tersebut.
Akibat negative dari konflik:
• Menghambat komunikasi.
• Mengganggu kohesi (keeratan hubungan).
• Mengganggu kerjasama atau “team work”.
• Mengganggu proses produksi, bahkan dapat menurunkan produksi.
• Menumbuhkan ketidakpuasan terhadap pekerjaan.
• Individu atau personil menga-lami tekanan (stress), mengganggu
konsentrasi, menimbulkan kecemasan, mangkir, menarik diri, frustrasi,
dan apatisme.
Akibat Positif dari konflik:
• Membuat organisasi tetap hidup dan harmonis.
• Berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungan.
• Melakukan adaptasi, sehingga dapat terjadi perubahan dan per-baikan
dalam sistem dan prosedur, mekanisme, program, bahkan tujuan organisasi.
• Memunculkan keputusan-keputusan yang bersifat inovatif.
• Memunculkan persepsi yang lebih kritis terhadap perbedaan pendapat.
Definisi Konflik :
Menurut Nardjana (1994) Konflik adalah
akibat situasi dimana keinginan atau kehendak yang berbeda atau
berlawanan antara satu dengan yang lain, sehingga salah satu atau
keduanya saling terganggu.
Menurut Killman dan Thomas (1978), konflik merupakan
kondisi terjadinya ketidakcocokan antar nilai atau tujuan-tujuan yang
ingin dicapai, baik yang ada dalam diri individu maupun dalam
hubungannya dengan orang lain. Kondisi yang telah dikemukakan tersebut
dapat mengganggu bahkan menghambat tercapainya emosi atau stres yang
mempengaruhi efisiensi dan produktivitas kerja (Wijono,1993, p.4)
Menurut
Wood, Walace, Zeffane, Schermerhorn, Hunt, dan Osborn (1998:580) yang
dimaksud dengan konflik (dalam ruang lingkup organisasi) adalah: Conflict
is
a situation which two or more people disagree over issues of
organisational substance and/or experience some emotional antagonism
with one another.
yang kurang lebih memiliki arti bahwa konflik adalah
suatu situasi dimana dua atau banyak orang saling tidak setuju terhadap
suatu permasalahan yang menyangkut kepentingan organisasi dan/atau
dengan timbulnya perasaan permusuhan satu dengan yang lainnya.
Menurut Stoner Konflik organisasi adalah
mencakup ketidaksepakatan soal alokasi sumberdaya yang langka atau
peselisihan soal tujuan, status, nilai, persepsi, atau kepribadian.
(Wahyudi, 2006:17)
Daniel Webster mendefinisikan konflik sebagai:
1. Persaingan atau pertentangan antara pihak-pihak yang tidak cocok satu sama lain.
2. Keadaan atau perilaku yang bertentangan (Pickering, 2001).
Ciri-Ciri Konflik :
Menurut Wijono( 1993 : 37) Ciri-ciri Konflik adalah :
1.
Setidak-tidaknya ada dua pihak secara perseorangan maupun kelompok yang
terlibat dalam suatu interaksi yang saling bertentangan.
2. Paling
tidak timbul pertentangan antara dua pihak secara perseorangan maupun
kelompok dalam mencapai tujuan, memainkan peran dan ambigius atau adanya
nilai-nilai atau norma yang saling berlawanan.
3. Munculnya
interaksi yang seringkali ditandai oleh gejala-gejala perilaku yang
direncanakan untuk saling meniadakan, mengurangi, dan menekan terhadap
pihak lain agar dapat memperoleh keuntungan seperti: status, jabatan,
tanggung jawab, pemenuhan berbagai macam kebutuhan fisik: sandang-
pangan, materi dan kesejahteraan atau tunjangan-tunjangan tertentu:
mobil, rumah, bonus, atau pemenuhan kebutuhan sosio-psikologis seperti:
rasa aman, kepercayaan diri, kasih, penghargaan dan aktualisasi diri.
4. Munculnya tindakan yang saling berhadap-hadapan sebagai akibat pertentangan yang berlarut-larut.
5.
Munculnya ketidakseimbangan akibat dari usaha masing-masing pihak yang
terkait dengan kedudukan, status sosial, pangkat, golongan, kewibawaan,
kekuasaan, harga diri, prestise dan sebagainya.
Tahapan-Tahapan Perkembangan kearah terjadinya Konflik :
1. Konflik masih tersembunyi (laten)
Berbagai
macam kondisi emosional yang dirasakan sebagai hal yang biasa dan tidak
dipersoalkan sebagai hal yang mengganggu dirinya.
2. Konflik yang mendahului (antecedent condition)
Tahap
perubahan dari apa yang dirasakan secara tersembunyi yang belum
mengganggu dirinya, kelompok atau organisasi secara keseluruhan, seperti
timbulnya tujuan dan nilai yang berbeda, perbedaan peran dan
sebagainya.
3. Konflik yang dapat diamati (perceived conflicts) dan konflik yang dapat dirasakan (felt conflict)
Muncul sebagai akibat antecedent condition yang tidak terselesaikan.
4. Konflik terlihat secara terwujud dalam perilaku (manifest behavior)
Upaya
untuk mengantisipasi timbulnya konflik dan sebab serta akibat yang
ditimbulkannya; individu, kelompok atau organisasi cenderung melakukan
berbagai mekanisme pertahanan diri melalui perilaku.
5. Penyelesaian atau tekanan konflik
Pada
tahap ini, ada dua tindakan yang perlu diambil terhadap suatu konflik,
yaitu penyelesaian konflik dengan berbagai strategi atau sebaliknya
malah ditekan.
6. Akibat penyelesaian konflik
Jika konflik
diselesaikan dengan efektif dengan strategi yang tepat maka dapat
memberikan kepuasan dan dampak positif bagi semua pihak. Sebaliknya bila
tidak, maka bisa berdampak negatif terhadap kedua belah pihak sehingga
mempengaruhi produkivitas kerja.(Wijono, 1993, 38-41).
Sumber-Sumber Konflik :
1. Konflik Dalam Diri Individu (Intraindividual Conflict)
A. Konflik yang berkaitan dengan tujuan yang hendak dicapai (goal conflict)
Menurut Wijono (1993, pp.7-15), ada tiga jenis konflik yang berkaitan dengan tujuan yang hendak dicapai (goal conflict), yaitu:
1)
Approach-approach conflict, dimana orang didorong untuk melakukan
pendekatan positif terhadap dua persoalan atau lebih, tetapi
tujuan-tujuan yang dicapai saling terpisah satu sama lain.
2)
Approach-Avoidance Conflict, dimana orang didorong untuk melakukan
pendekatan terhadap persoalan-persoalan yang mengacu pada satu tujuandan
pada waktu yang sama didorong untuk melakukan terhadap
persoalan-persoalan tersebut dan tujuannya dapat mengandung nilai
positif dan negatif bagi orang yang mengalami konflik tersebut.
3)
Avoidance-Avoidance Conflict, dimana orang didorong untuk menghindari
dua atau lebih hal yang negatif tetapi tujuan-tujuan yang dicapai saling
terpisah satu sama lain.
Dalam hal ini, approach-approach conflict
merupakan jenis konflik yang mempunyai resiko paling kecil dan mudah
diatasi, serta akibatnya tidak begitu fatal.
B. Konflik yang berkaitan dengan peran dan ambigius
Di
dalam organisasi, konflik seringkali terjadi karena adanya perbedaan
peran dan ambigius dalam tugas dan tanggung jawab terhadap sikap-sikap,
nilai-nilai dan harapan-harapan yang telah ditetapkan dalam suatu
organisasi.
Filley and House memberikan kesimpulan atas hasil
penyelidikan kepustakaan mengenai konflik peran dalam organisasi, yang
dicatat melalui indikasi-indikasi yang dipengaruhi oleh empat variabel
pokok yaitu :
1) Mempunyai kesadaran akan terjadinya konflik peran.
2) Menerima kondisi dan situasi bila muncul konflik yang bisa membuat tekanan-tekanan dalam pekerjaan.
3) Memiliki kemampuan untuk mentolelir stres.
4) Memperkuat sikap/sifat pribadi lebih tahan dalam menghadapi konflik yang muncul dalam organisasi (Wijono, 1993, p.15).
Stevenin
(2000, pp.132-133), ada beberapa faktor yang mendasari munculnya
konflik antar pribadi dalam organisasi misalnya adanya:
1. Pemecahan
masalah secara sederhana. Fokusnya tertuju pada penyelesaian masalah dan
orang-orangnya tidak mendapatkan perhatian utama.
2.
Penyesuaian/kompromi. Kedua pihak bersedia saling memberi dan menerima,
namun tidak selalu langsung tertuju pada masalah yang sebenarnya.
Waspadailah masalah emosi yang tidak pernah disampaikan kepada manajer. Kadang-kadang kedua pihak tetap tidak puas.
3.
Tidak sepakat. Tingkat konflik ini ditandai dengan pendapat yang
diperdebatkan. Mengambil sikap menjaga jarak. Sebagai manajer, manajer
perlu memanfaatkan dan menunjukkan aspek-aspek yang sehat dari
ketidaksepakatan tanpa membiarkan adanya perpecahan dalam kelompok.
4.
Kalah/menang. Ini adalah ketidaksepakatan yang disertai sikap bersaing
yang amat kuat. Pada tingkat ini, sering kali pendapat dan gagasan orang
lain kurang dihargai. Sebagian di antaranya akan melakukan berbagai
macam cara untuk memenangkan pertarungan.
5. Pertarungan/penerbangan.
Ini adalah konflik “penembak misterius”. Orang-orang yang terlibat di
dalamnya saling menembak dari jarak dekat kemudian mundur untuk
menyelamatkan diri. Bila amarah meledak, emosi pun menguasai akal sehat.
Orang-orang saling berselisih.
6. Keras kepala. Ini adalah mentalitas “dengan caraku atau tidak sama sekali”.
Satu-satunya
kasih karunia yang menyelamatkan dalam konflik ini adalah karena
biasanya hal ini tetap mengacu pada pemikiran yang logis. Meskipun
demikian, tidak ada kompromi sehingga tidak ada penyelesaian.
7.
Penyangkalan. Ini adalah salah satu jenis konflik yang paling sulit
diatasi karena tidak ada komunikasi secara terbuka dan terus-terang.
Konflik hanya dipendam. Konflik yang tidak bisa diungkapkan adalah
konflik yang tidak bisa diselesaikan.
Dampak Konflik
Konflik dapat berdampak positif dan negatif yang rinciannya adalah sebagai berikut :
1. Dampak Positif Konflik
Menurut
Wijono (1993:3), bila upaya penanganan dan pengelolaan konflik karyawan
dilakukan secara efisien dan efektif maka dampak positif akan muncul
melalui perilaku yang dinampakkan oleh karyawan sebagai sumber daya
manusia potensial dengan berbagai akibat seperti:
1. Meningkatnya
ketertiban dan kedisiplinan dalam menggunakan waktu bekerja, seperti
hampir tidak pernah ada karyawan yang absen tanpa alasan yang jelas,
masuk dan pulang kerja tepat pada waktunya, pada waktu jam kerja setiap
karyawan menggunakan waktu secara efektif, hasil kerja meningkat baik
kuantitas maupun kualitasnya.
2. Meningkatnya hubungan kerjasama yang
produktif. Hal ini terlihat dari cara pembagian tugas dan tanggung
jawab sesuai dengan analisis pekerjaan masing-masing.
3. Meningkatnya
motivasi kerja untuk melakukan kompetisi secara sehat antar pribadi
maupun antar kelompok dalam organisasi, seperti terlihat dalam upaya
peningkatan prestasi kerja, tanggung jawab, dedikasi, loyalitas,
kejujuran, inisiatif dan kreativitas.
4. Semakin berkurangnya
tekanan-tekanan, intrik-intrik yang dapat membuat stress bahkan
produktivitas kerja semakin meningkat. Hal ini karena karyawan
memperoleh perasaan-perasaan aman, kepercayaan diri, penghargaan dalam
keberhasilan kerjanya atau bahkan bisa mengembangkan karier dan potensi
dirinya secara optimal.
5. Banyaknya karyawan yang dapat
mengembangkan kariernya sesuai dengan potensinya melalui pelayanan
pendidikan (education), pelatihan (training) dan konseling (counseling)
dalam aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Semua ini bisa
menjadikan tujuan organisasi tercapai dan produktivitas kerja meningkat
akhirnya kesejahteraan karyawan terjamin.
2. Dampak Negatif Konflik
Dampak
negatif konflik (Wijono, 1993, p.2), sesungguhnya disebabkan oleh
kurang efektif dalam pengelolaannya yaitu ada kecenderungan untuk
membiarkan konflik tumbuh subur dan menghindari terjadinya konflik.
Akibatnya muncul keadaan-keadaan sebagai berikut:
1. Meningkatkan
jumlah absensi karyawan dan seringnya karyawan mangkir pada waktu
jam-jam kerja berlangsung seperti misalnya ngobrol berjam-jam sambil
mendengarkan sandiwara radio, berjalan mondar-mandir menyibukkan diri,
tidur selama pimpinan tidak ada di tempat, pulang lebih awal atau datang
terlambat dengan berbagai alasan yang tak jelas.
2. Banyak karyawan
yang mengeluh karena sikap atau perilaku teman kerjanya yang dirasakan
kurang adil dalam membagi tugas dan tanggung jawab.
Seringnya terjadi
perselisihan antar karyawan yang bisa memancing kemarahan,
ketersinggungan yang akhirnya dapat mempengaruhi pekerjaan, kondisi
psikis dan keluarganya.
3. Banyak karyawan yang sakit-sakitan, sulit
untuk konsentrasi dalam pekerjaannya, muncul perasaan-perasaan kurang
aman, merasa tertolak oleh teman ataupun atasan, merasa tidak dihargai
hasil pekerjaannya, timbul stres yang berkepanjangan yang bisa berakibat
sakit tekanan darah tinggi, maag ataupun yang lainnya.
4. Seringnya
karyawan melakukan mekanisme pertahanan diri bila memperoleh teguran
dari atasan, misalnya mengadakan sabotase terhadap jalannya produksi,
dengan cara merusak mesin-mesin atau peralatan kerja, mengadakan
provokasi terhadap rekan kerja, membuat intrik-intrik yang merugikan
orang lain.
5. Meningkatnya kecenderungan karyawan yang keluar masuk
dan ini disebut labor turn-over. Kondisi semacam ini bisa menghambat
kelancaran dan kestabilan organisasi secara menyeluruh karena produksi
bisa macet, kehilangan karyawan potensial, waktu tersita hanya untuk
kegiatan seleksi dan memberikan latihan dan dapat muncul pemborosan
dalam cost benefit.
Konflik yang tidak terselesaikan dapat
merusak lingkungan kerja sekaligus orang-orang di dalamnya, oleh karena
itu konflik harus mendapat perhatian. Jika tidak, maka seorang manajer
akan terjebak pada hal-hal seperti:
1. Kehilangan karyawan yang
berharga dan memiliki keahlian teknis. Dapat saja mereka mengundurkan
diri. Manajer harus menugaskan mereka kembali, dan contoh yang paling
buruk adalah karena mungkin Manajer harus memecat mereka.
2. Menahan atau mengubah informasi yang diperlukan rekan-rekan sekerja yang lurus hati agar tetap dapat mencapai prestasi.
3.
Keputusan yang lebih buruk yang diambil oleh perseorangan atau tim
karena mereka sibuk memusatkan perhatian pada orangnya, bukan pada
masalahnya.
4. Kemungkinan sabotase terhadap pekerjaan atau
peralatan. Seringkali dimaklumi sebagai faktor “kecelakaan” atau “lupa”.
Namun, dapat membuat pengeluaran yang diakibatkan tak terhitung
banyaknya.
5. Sabotase terhadap hubungan pribadi dan reputasi anggota
tim melalui gosip dan kabar burung. Segera setelah orang tidak
memusatkan perhatian pada tujuan perubahan, tetapi pada masalah emosi
dan pribadi, maka perhatian mereka akan terus terpusatkan ke sana.
6.
Menurunkan moral, semangat, dan motivasi kerja. Seorang karyawan yang
jengkel dan merasa ada yang berbuat salah kepadanya tidak lama kemudian
dapat meracuni seluruh anggota tim. Bila semangat sudah berkurang,
manajer akan sulit sekali mengobarkannya kembali.
7. Masalah yang
berkaitan dengan stres. Ada bermacam-macam, mulai dari efisiensi yang
berkurang sampai kebiasaan membolos kerja. (Stevenin,2000 : 131-132).
Strategi Mengatasi Konflik
Menurut
Stevenin (2000, pp.134-135), terdapat lima langkah meraih kedamaian
dalam konflik. Apa pun sumber masalahnya, lima langkah berikut ini
bersifat mendasar dalam mengatasi kesulitan:
1. Pengenalan
Kesenjangan
antara keadaan yang ada diidentifikasi dan bagaimana keadaan yang
seharusnya. Satu-satunya yang menjadi perangkap adalah kesalahan dalam
mendeteksi (tidak mempedulikan masalah atau menganggap ada masalah
padahal sebenarnya tidak ada).
2. Diagnosis
Inilah langkah yang
terpenting. Metode yang benar dan telah diuji mengenai siapa, apa,
mengapa, dimana, dan bagaimana berhasil dengan sempurna. Pusatkan
perhatian pada masalah utama dan bukan pada hal-hal sepele.
3. Menyepakati suatu solusi
Kumpulkanlah
masukan mengenai jalan keluar yang memungkinkan dari orang-orang yang
terlibat di dalamnya. Saringlah penyelesaian yang tidak dapat diterapkan
atau tidak praktis. Jangan sekali-kali menyelesaikan dengan cara yang
tidak terlalu baik. Carilah yang terbaik.
4. Pelaksanaan
Ingatlah
bahwa akan selalu ada keuntungan dan kerugian. Hati-hati, jangan biarkan
pertimbangan ini terlalu mempengaruhi pilihan dan arah kelompok.
5. Evaluasi
Penyelesaian
itu sendiri dapat melahirkan serangkaian masalah baru. Jika
penyelesaiannya tampak tidak berhasil, kembalilah ke langkah-langkah
sebelumnya dan cobalah lagi.
Stevenin (1993 : 139-141) juga
memaparkan bahwa ketika mengalami konflik, ada hal-hal yang tidak boleh
dilakukan di tengah-tengah konflik, yaitu:
1. Jangan hanyut dalam
perebutan kekuasaan dengan orang lain. Ada pepatah dalam masyarakat yang
tidak dapat dipungkiri, bunyinya: bila wewenang bertambah maka
kekuasaan pun berkurang, demikian pula sebaiknya.
2. Jangan terlalu
terpisah dari konflik. Dinamika dan hasil konflik dapat ditangani secara
paling baik dari dalam, tanpa melibatkan pihak ketiga.
3. Jangan
biarkan visi dibangun oleh konflik yang ada. Jagalah cara pandang dengan
berkonsentrasi pada masalah-masalah penting. Masalah yang paling
mendesak belum tentu merupakan kesempatan yang terbesar.
Menurut Wijono (1993 : 42-125) strategi mengatasi konflik, yaitu:
1. Strategi Mengatasi Konflik Dalam Diri Individu (Intraindividual Conflict)
Menurut Wijono (1993 : 42-66), untuk mengatasi konflik dalam diri individu diperlukan paling tidak tujuh strategi yaitu:
1) Menciptakan kontak dan membina hubungan
2) Menumbuhkan rasa percaya dan penerimaan
3) Menumbuhkan kemampuan /kekuatan diri sendiri
4) Menentukan tujuan
5) Mencari beberapa alternatif
6) Memilih alternatif
7) Merencanakan pelaksanaan jalan keluar
2. Strategi Mengatasi Konflik Antar Pribadi (Interpersonal Conflict)
Menurut Wijono (1993 : 66-112), untuk mengatasi konflik dalam diri individu diperlukan paling tidak tiga strategi yaitu:
1) Strategi Kalah-Kalah (Lose-Lose Strategy)
Beorientasi
pada dua individu atau kelompok yang sama-sama kalah. Biasanya individu
atau kelompok yang bertikai mengambil jalan tengah (berkompromi) atau
membayar sekelompok orang yang terlibat dalam konflik atau menggunakan
jasa orang atau kelompok ketiga sebagai penengah.
Dalam strategi
kalah-kalah, konflik bisa diselesaikan dengan cara melibatkan pihak
ketiga bila perundingan mengalami jalan buntu. Maka pihak ketiga
diundang untuk campur tangan oleh pihak-pihak yang berselisih atau
barangkali bertindak atas kemauannya sendiri. Ada dua tipe utama dalam
campur tangan pihak ketiga yaitu:
a. Arbitrasi (Arbitration)
Arbitrasi
merupakan prosedur di mana pihak ketiga mendengarkan kedua belah pihak
yang berselisih, pihak ketiga bertindak sebagai hakim dan penengah dalam
menentukan penyelesaian konflik melalui suatu perjanjian yang mengikat.
b. Mediasi (Mediation)
Mediasi
dipergunakan oleh Mediator untuk menyelesaikan konflik tidak seperti
yang diselesaikan oleh abriator, karena seorang mediator tidak mempunyai
wewenang secara langsung terhadap pihak-pihak yang bertikai dan
rekomendasi yang diberikan tidak mengikat.
2) Strategi Menang-Kalah (Win-Lose Strategy)
Dalam
strategi saya menang anda kalah (win lose strategy), menekankan adanya
salah satu pihak yang sedang konflik mengalami kekalahan tetapi yang
lain memperoleh kemenangan.
Beberapa cara yang digunakan untuk menyelesaikan konflik
dengan win-lose strategy (Wijono, 1993 : 44), dapat melalui:
a.
Penarikan diri, yaitu proses penyelesaian konflik antara dua atau lebih
pihak yang kurang puas sebagai akibat dari ketergantungan tugas (task
independence).
b. Taktik-taktik penghalusan dan damai, yaitu dengan
melakukan tindakan perdamaian dengan pihak lawan untuk menghindari
terjadinya konfrontasi terhadap perbedaan dan kekaburan dalam
batas-batas bidang kerja (jurisdictioanal ambiquity).
c. Bujukan,
yaitu dengan membujuk pihak lain untuk mengubah posisinya untuk
mempertimbangkan informasi-informasi faktual yang relevan dengan
konflik, karena adanya rintangan komunikasi (communication barriers).
d.
Taktik paksaan dan penekanan, yaitu menggunakan kekuasaan formal dengan
menunjukkan kekuatan (power) melalui sikap otoriter karena dipengaruhi
oleh sifat-sifat individu (individual traits).
e. Taktik-taktik yang
berorientasi pada tawar-menawar dan pertukaran persetujuan sehingga
tercapai suatu kompromi yang dapat diterima oleh dua belah pihak, untuk
menyelesaikan konflik yang berkaitan dengan persaingan terhadap
sumber-sumber (competition for resources) secara optimal bagi
pihak-pihak yang berkepentingan.
3) Strategi Menang-Menang (Win-Win Strategy)
Penyelesaian
yang dipandang manusiawi, karena menggunakan segala pengetahuan, sikap
dan keterampilan menciptakan relasi komunikasi dan interaksi yang dapat
membuat pihak-pihak yang terlibat saling merasa aman dari ancaman,
merasa dihargai, menciptakan suasana kondusif dan memperoleh kesempatan
untuk mengembangkan potensi masing-masing dalam upaya penyelesaian
konflik. Jadi strategi ini menolong memecahkan masalah pihak-pihak yang
terlibat dalam konflik, bukan hanya sekedar memojokkan orang.
Strategi
menang-menang jarang dipergunakan dalam organisasi dan industri, tetapi
ada 2 cara didalam strategi ini yang dapat dipergunakan sebagai
alternatif pemecahan konflik interpersonal yaitu:
a. Pemecahan
masalah terpadu (Integrative Problema Solving) Usaha untuk menyelesaikan
secara mufakat atau memadukan kebutuhan-kebutuhan kedua belah pihak.
b.
Konsultasi proses antar pihak (Inter-Party Process Consultation) Dalam
penyelesaian melalui konsultasi proses, biasanya ditangani oleh
konsultan proses, dimana keduanya tidak mempunyai kewenangan untuk
menyelesaikan konflik dengan kekuasaan atau menghakimi
salah satu atau kedua belah pihak yang terlibat konflik
3. Strategi Mengatasi Konflik Organisasi (Organizational Conflict)
Menurut
Wijono (1993, pp.113-125), ada beberapa strategi yang bisa dipakai
untuk mengantisipasi terjadinya konflik organisasi diantaranya adalah:
1) Pendekatan Birokratis (Bureaucratic Approach)
Konflik
muncul karena adanya hubungan birokratis yang terjadi secara vertikal
dan untuk menghadapi konflik vertikal model ini, manajer cenderung
menggunakan struktur hirarki (hierarchical structure) dalam hubungannya
secara otokritas. Konflik terjadi karena pimpinan berupaya mengontrol
segala aktivitas dan tindakan yang dilakukan oleh bawahannya. Strategi
untuk pemecahan masalah konflik seperti ini biasanya dipergunakan
sebagai pengganti dari peraturan-peraturan birokratis untuk mengontrol
pribadi bawahannya. Pendekatan birokratis (Bureaucratic Approach) dalam
organisasi bertujuan mengantisipasi konflik vertikal (hirarkie) didekati
dengan cara menggunakan hirarki
struktural (structural hierarchical).
2) Pendekatan Intervensi Otoritatif Dalam Konflik Lateral (Authoritative Intervention in Lateral Conflict)
Bila
terjadi konflik lateral, biasanya akan diselesaikan sendiri oleh
pihak-pihak yang terlibat konflik. Kemudian jika konflik tersebut
ternyata tidak dapat diselesaikan secara konstruktif, biasanya manajer
langsung melakukan intervensi secara otoratif kedua belah pihak.
3) Pendekatan Sistem (System Approach)
Model
pendekatan perundingan menekankan pada masalah-masalah kompetisi dan
model pendekatan birokrasi menekankan pada kesulitan-kesulitan dalam
kontrol, maka pendekatan sistem (system Approach) adalah
mengkoordinasikan masalah-masalah konflik yang muncul.
Pendekatan ini
menekankan pada hubungan lateral dan horizontal antara fungsi-fungsi
pemasaran dengan produksi dalam suatu organisasi.
4) Reorganisasi Struktural (Structural Reorganization)
Cara
pendekatan dapat melalui mengubah sistem untuk melihat kemungkinan
terjadinya reorganisasi struktural guna meluruskan perbedaan kepentingan
dan tujuan yang hendak dicapai kedua belah pihak, seperti membentuk
wadah baru dalam organisasi non formal untuk mengatasi konflik yang
berlarut-larut sebagai akibat adanya saling ketergantungan tugas (task
interdependence) dalam mencapai kepentingan dan tujuan yang berbeda
sehingga fungsi organisasi menjadi kabur.